Pemimpin adalah seseorang yang diberi kedudukan tertentu dan dan
bertindak sesuai dengan kedudukannya tersebut. Pemimpin juga adalah
seorang ahli dalam organisasi / masyarakat yang diharapkan menggunakan
pengaruh dalam melaksana dan mencapai visi dan misi institusi / lembaga
yang dipimpinnya. Dia adalah memimpin dan bukan menggunakan kedudukan
untuk memimpin. Sedangkan kepemimpinan adalah suatu peranan dan proses
mempengaruhi orang lain. Kepemimpinan Menurut Islam Kepemimpinan dalam
Islam merupakan usaha menyeru manusia kepada amar makruf nahi mungkar,
menyeru berbuat kebaikan dan melarang manusia berbuat keburukan.
Kepemimpinan Islam adalah perwujudan dari keimanan dan amal saleh. Oleh
karena itu seorang pemimpin yang mementingkan diri, kelompok, keluarga,
kedudukannya dan hanya bertujuan untuk kebendaan, penumpukan harta,
bukanlah kepemimpinan Islam yang sebenarnya meskipun si pemimpin
tersebut beragama Islam, berlabelkan Islam. Sebagaimana dipahami,
bahwa tidak semua orang layak, mampu atau berhak memimpin. Kepemimpinan
adalah bagi dia atau mereka yang layak dan berhak saja. Sejumlah
pendapat mengatakan bahwa dianggap telah melakukan satu pengkhianatan
terhadap agama apabila diangkat seorang pemimpin yang tidak layak. Di
dalam Islam, pemimpin kadangkala disebut imam tapi juga khalifah. Dalam
shalat berjamaah, imam berarti orang yang didepan. Secara harfiyah, imam
berasal dari kata amma, ya’ummu yang artinya menuju, menumpu dan
meneladani. Ini berarti seorang imam atau pemimpin harus selalu didepan
guna memberi keteladanan atau kepeloporan dalam segala bentuk kebaikan.
Disamping itu, pemimpin disebut juga dengan khalifah yang berasal dari
kata khalafa yang berarti di belakang, karenanya khalifah dinyatakan
sebagai pengganti karena memang pengganti itu dibelakang atau datang
sesudah yang digantikan. Kalau pemimpin itu disebut khalifah, itu
artinya ia harus bisa berada di belakang untuk menjadi pendorong diri
dan orang yang dipimpinnya untuk maju dalam menjalani kehidupan yang
baik dan benar sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh
orang yang dipimpinnya kearah kebenaran Kepemimpinan Rasulullah
Kepemimpinan Rasulullah s.a.w. merupakan contoh terbaik dalam menghayati
nilai-nilai kepemimpinan . Baginda telah meletakkan kepentingan umat
Islam mengatasi segala kepentingan diri dan keluarga. Sifat-sifat
kepemimpinan yang dihayati dan ditonjolkan baginda telah menjadi rujukan
para pengikut beliau di sepanjang zaman dan setiap generasi.
Rasulullah SAW telah memberikan gambaran yang sangat rinci bagaimana
beliau bersikap sebagai seorang pemimpin; tidak pamer kemewahan dan
tidak pula angkuh dengan jabatan yang beliau sandang. Sebaliknya
Rasulullah SAW senantiasa menampilkan sikap keramahannya kepada umatnya,
menyebarkan salam, menyantuni yang kecil, menghormati yang tua, peduli
pada sesama dan selalu tunduk dan takut kepada Allah SWT. Dzat yang
telah memberikan tugas dan tanggung jawab ke pundaknya. Meskipun Beliau
telah wafat ribuan tahun yang lalu, tetapi pengaruhnya tetap abadi
hingga sekarang, tidak lapuk dimakan zaman dan tidak lekang dimakan
usia. Kepemimpinan adalah pengaruh. Makin kuat kepemimpinan seseorang,
akan makin kuat pula pengaruhnya. Begitu pula dengan Rasulullah. Lalu,
pemimpin seperti apakah Rasulullah saw. sehingga pengaruhnya bisa
menembus relung hati kita? Siang malam kita merindukan berjumpa dengan
Beliau sehingga rela berdesak-desakan di raudhah (sebuah ruang dekat
mimbar Masjid Nabawi di Madinah) sekalipun. Jawaban dari semua itu
ternyata, pertama, sebelum memimpin orang lain, Rasulullah saw. selalu
mengawali dengan memimpin dirinya sendiri. Beliau pimpin matanya
sehingga tidak melihat apa pun yang akan membusukkan hatinya. Rasulullah
memimpin tutur katanya sehingga tidak pernah berbicara kecuali
kata-kata benar, indah, dan padat akan makna. Rasulullah pun memimpin
nafsunya, keinginannya, dan memimpin keluarganya dengan cara terbaik
sehingga Beliau mampu memimpin umat dengan cara dan hasil yang terbaik
pula. Sayang, kita sangat banyak menginginkan kedudukan, jabatan, dan
kepemimpinan. Padahal, untuk memimpin diri sendiri saja kita sudah tidak
sanggup. Itulah yang menyebabkan seorang pemimpin tersungkur menjadi
hina. Tidak pernah ada seorang pemimpin jatuh karena orang lain.
Seseorang hanya jatuh karena dirinya sendiri. Kedua, Rasulullah saw.
memperlihatkan kepemimpinannya tidak dengan banyak menyuruh atau
melarang. Beliau memimpin dengan suri teladan yang baik. Pantaslah kalau
keteladannya diabadikan dalam Alquran, “Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah” (Q.S. Alahzab: 21). Dalam kehidupannya,
Rasulullah saw. senantiasa melakukan terlebih dahulu apa yang ia
perintahkan kepada orang lain. Keteladanan ini sangat penting karena
sehebat apa pun yang kita katakan tidak akan berharga kecuali kalau
perbuatan kita seimbang dengan kata-kata. Rasulullah tidak menyuruh
orang lain sebelum menyuruh dirinya sendiri. Rasulullah tidak melarang
sebelum melarang dirinya. Kata dan perbuatannya amat serasi sehingga
setiap kata-kata diyakini kebenarannya. Efeknya, dakwah Beliau punya
kekuatan ruhiah yang sangat dahsyat. Dalam Alquran Allah Azza wa Jalla
berfirman, “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (QS Ashshaf: 3). Ketiga, kepemimpinan
Rasulullah tidak hanya menggunakan akal dan fisik, tetapi Beliau
memimpin dengan kalbunya. Hati tidak akan pernah bisa disentuh kecuali
dengan hati lagi. Dengan demikian, yang paling dibutuhkan oleh manusia
adalah hati nurani, karena itulah yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.
Rasulullah menabur cinta kepada sahabatnya sehingga setiap orang bisa
merasakan tatapannya dengan penuh kasih sayang, tutur katanya yang
rahmatan lil alaamiin, dan perilakunya yang amat menawan. Seorang
pemimpin yang hatinya hidup akan selalu merindukan kebaikan,
keselamatan, kebahagiaan bagi yang dipimpinnya. Sabda Rasulullah saw.
“Sebaik-baik pemimpin kalian ialah yang kalian mencintainya dan dia
mencintai kalian. Dia mendoakan kebaikan kalian dan kalian mendoakannya
kebaikan. Sejelek-jelek pemimpin kalian ialah yang kalian membencinya
dan ia membenci kalian. Kalian mengutuknya dan ia mengutuk kalian.”
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa berkhidmat dengan tulus dan
menafkahkan jiwa raganya untuk kemaslahatan umat. Ia berkorban dengan
mudah dan ringan karena merasa itulah kehormatan menjadi pemimpin, bukan
mengorbankan orang lain. pemimpin memiliki kedudukan yang sangat
penting, karenanya siapa saja yang menjadi pemimpin tidak boleh dan
jangan sampai menyalahgunakan kepemimpinannya untuk hal-hall yang tidak
benar. Karena itu, para pemimpin dan orang-orang yang dipimpin harus
memahamii hakikat kepemimpinan dalam pandangan Islam yang secara garis
besar dalam lima lingkup. 1. Tanggung Jawab, Bukan Keistimewaan. Ketika
seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga atau
institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar
sebagai seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggungjawabkannya,.
Bukan hanya dihadapan manusia tapi juga dihadapan Allah Swt. Oleh karena
itu, jabatan dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu
keistimewaan sehingga seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa
menjadi manusia yang istimewa sehingga ia merasa harus diistimewakan dan
ia sangat marah bila orang lain tidak mengistimewakan dirinya. Contoh
lain, ketika Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang cemerlang
datang ke sebuah pasar untuk mengetahui langsung keadaan pasar, maka ia
datang sendirian dengan penampilan biasa, bahkan sangat sederhana
sehingga ada yang menduga kalau ia seorang kuli panggul lalu orang
itupun menyuruhnya untuk membawakan barang yang tak mampu dibawanya.
Umar membawakan barang orang itu dengan maksud menolongnya, bukan untuk
mendapatkan upah. Namun ditengah jalan, ada orang memanggilnya dengan
panggilan yang mulia sehingga pemilik barang yang tidak begitu
memperhatikannya menjadi memperhatikan siapa orang yang telah disuruhnya
membawa barangnya. Setelah ia tahu bahwa Umar sang khalifah yang
disuruhnya, iapun meminta maaf, namun Umar merasa hal itu bukanlah suatu
kesalahan. Karena kepemimpinan itu tanggung jawab atau amanah yang
tiodak boleh disalahgunakan, maka pertanggungjawaban menjadi suatu
kepastian, Rasulullah Saw bersabda: Setiap kamu adalah pemimpin dan
setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu
(HR. Bukhari dan Muslim) 2. Pengorbanan, Bukan Fasilitas Menjadi
pemimpin atau pejabat bukanlah untuk menikmati kemewahan atau kesenangan
hidup dengan berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan, tapi justru
ia harus mau berkorban dan menunjukkan pengorbanan, apalagi ketika
masyarakat yang dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan sangat sulit.
Karenanya dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz
sebelum menjadi khalifah menghabiskan dana untuk membeli pakaian yang
harganya 400 dirham, tapi ketika ia menjadi khalifah ia hanya membeli
pakaian yang harganya 10 dirham, hal ini ia lakukan karena kehidupan
yang sederhana tidak hanya harus dihimbau, tapi harus dicontohkan
langsung kepada masyarakatnya. Karena itu menjadi terasa aneh bila dalam
anggaran belanja negara atau propinsi dan tingkatan yang dibawahnya
terdapat anggaran dalam puluhan bahkan ratusan juta untuk membeli
pakaian bagi para pejabat, padahal ia sudah mampu membeli pakaian dengan
harga yang mahal sekalipun dengan uangnya sendiri sebelum ia menjadi
pemimpin atau pejabat. 3. Kerja Keras, Bukan Santai. Para pemimpin
mendapat tanggung jawab yang besar untuk menghadapi dan mengatasi
berbagai persoalan yang menghantui masyarakat yang dipimpinnya untuk
Selanjutnya mengarahkan kehidupan masyarakat untuk bisa menjalani
kehidupan yang baik dan benar serta mencapai kemajuan dan kesejahteraan.
Untuk itu, para pemimpin dituntut bekerja keras dengan penuh
kesungguhan dan optimisme. Saat menghadapi krisis ekonomi, Khalifah
Umar bin Khattab membagikan sembako (bahan pangan) kepada rakyatnya.
Meskipun sore hari ia sudah menerima laporan tentang pembagian yang
merata, pada malam hari, saat masyarakat sudah mulai tidur, Umar
mengecek langsung dengan mendatangi lorong-lorong kampung, Umar
mendapati masih ada rakyatnya yang masuk batu sekedar untuk memberi
harapan kepada anaknya yang menangis karena lapar akan kemungkinan
mendapatkan makanan. Meskipun malam sudah semakin larut, Umar pulang ke
rumahnya dan ternyata ia memanggul sendiri satu karung bahan makanan
untuk diberikan kepada rakyatnya yang belum memperolehnya. 4.
Kewenangan Melayani, Bukan Sewenang-Wenang. Pemimpin adalah pelayan bagi
orang yang dipimpinnya, karena itu menjadi pemimpin atau pejabat
berarti mendapatkan kewenangan yang besar untuk bisa melayani masyarakat
dengan pelayanan yang lebih baik dari pemimpin sebelumnya, Rasulullah
Saw bersabda: Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR. Abu Na’im)
Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan
terhadap orang-orang yang dipimpinnya guna meningkatkan kesejahteraan
hidup, ini berarti tidak ada keinginan sedikitpun untuk menzalimi
rakyatnya apalagi menjual rakyat, berbicara atas nama rakyat atau
kepentingan rakyat padahal sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga
atau golongannya. Bila pemimpin seperti ini terdapat dalam kehidupan
kita, maka ini adalah pengkhianat yang paling besar, Rasulullah Saw
bersabda: Khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa
memperdagangkan rakyatnya (HR. Thabrani). 5. Keteladanan dan
Kepeloporan, Bukan Pengekor. Dalam segala bentuk kebaikan, seorang
pemimpin seharusnya menjadi teladan dan pelopor, bukan malah menjadi
pengekor yang tidak memiliki sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan
kebaikan. Ketika seorang pemimpin menyerukan kejujuran kepada rakyat
yang dipimpinnya, maka ia telah menunjukkan kejujuran itu. Ketika ia
menyerukan hidup sederhana dalam soal materi, maka ia tunjukkan
kesederhanaan bukan malah kemewahan. Masyarakat sangat menuntut adanya
pemimpin yang bisa menjadi pelopor dan teladan dalam kebaikan dan
kebenaran. Sebagai seorang pemimpin, Rasulullah Saw tunjukkan
keteladanan dan kepeloporan dalam banyak peristiwa. Ketika Rasulullah
Saw membangun masjid Nabawi di Madinah bersama para sahabatnya, beliau
tidak hanya menyuruh dan mengatur atau tunjuk sana tunjuk sini, tapi
beliau turun langsung mengerjakan hal-hal yang bersifat teknis
sekalipun. Beliau membawa batu bata dari tempatnya ke lokasi pembangunan
sehingga ketika para sahabat yang lebih muda dari beliau sudah mulai
lelah dan beristirahat, Rasul masih terus saja membawanya meskipun ia
juga nampak lelah. Karena itu seorang sahabat bermaksud mengambil batu
yang dibawa oleh nabi agar ia yang membawanya, tapi nabi justeru
menyatakan: “kalau kamu mau membawa batu bata, disana masih banyak batu
yang bisa engkau bawa, yang ini biar tetap aku yang membawanya”.
Karenanya para sahabat tetap dan terus bersemangat dalam proses
penyelesaian pembangunan masjid Nabawi. selanjutnya kriteria apa saja
yang dapat kita gunakan untuk menguji sudah sejauh mana kita mampu
meniru gaya kepemimpinan Rasulullah SAW tersebut? Setiap masa kita
selalu mendambakan seseorang yang menjadi panutan yang paling ideal bagi
kita. Kita masih perlu belajar untuk mengevaluasi sudah sejauh mana
kita mampu mengikuti jejak Rasulullah itu. Disini, penulis ingin
mengetengahkan beberapa prinsip kepemimpinan dalam Islam sekaligus
menyertakan beberapa kriteria sebagai bahan evaluasi bagi para pemimpin.
Penulis hanya akan membatasi pada lima prinsip saja mengingat
keterbatasan waktu dan ruang. Tentunya, yang menjadi sandaran penulis
dalam mengangkat prinsip-prinsip kepemimpin ini dengan mengacu kepada
kepemimpinan Muhammad Rasulullah SAW. Prinsip kepemimpinan Rasulullah
SAW tersebut antara lain: Pertama, bertanggung jawab. Rasulullah SAW
senantiasa berpegang kepada aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Segala sesuatu yang beliau lakukan hanyalah karena Allah SWT semata.
Tugas, pangkat dan jabatan tersebut datangnya jua dari Allah SWT, maka
kepada Allah SWT pulalah kita mempertanggungjawabkannya. Tatkala suatu
perintah dari Allah datang kepada Muhammad SAW, maka beliaupun segera
menjalankan perintah tersebut sekaligus menyampaikannya kepada seluruh
umat manusia. Inilah yang disebut dengan bentuk pengabdian seorang hamba
yang paling tinggi. Beliau tak pernah menunda-nunda dalam urusan
mengerjakan perintah Allah SWT. Sudah tentu pula bahwa tingkat
kepatuhan seorang hamba yang paling rendah itu adalah dengan
menunda-nunda pekerjaan yang diberikan kepadanya. Tingkatan kedua adalah
mengerjakan perintah Allah SWT tersebut, tapi masih diikuti oleh rasa
ragu-ragu. Dan Rasulullah SAW terhindar dari dua sikap yang terakhir
ini. Sekali lagi, tingkat kepatuhan seorang hamba itu akan terlihat
manakala ia mengerjakan perintah Allah SWT tersebut dengan hati yang
gembira, dan kegembiraan itu muncul dari dalam hatinya sendiri. Kita
harus bercita-cita dan berusaha untuk meraih tingkat kepatuhan kepada
Allah SWT dengan tingkat kapatuhan yang paling tinggi sebagaimana yang
telah diraih oleh Rasulullah SAW. Kedua, rendah hati. Para pemimpin
saat ini cenderung memperlihatkan perhatiannya terhadap kekuasaan dan
kakayaan dari pada memperhatikan etika dan moral, ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai kemanusiaan, tak terkecuali pemimpin Muslim, semuanya sama
saja. Pada kenyataannya, banyak diantara pemimpin Muslim itu yang
angkuh, sombong dan tak tahu diri. Sungguh sangat naif sekali bagi para
pemimpin yang berfikir semacam ini. Rasulullah SAW membuat standar
kepemimpinan tersebut berdasarkan kebutuhan, bukan berdasarkan pada
hasrat atau keinginan untuk meraih sebuah status, pangkat atau jabatan.
Dari beberapa contoh diatas tadi, kita dapat mengevaluasi gaya
kepemimpinan kita. Baik sebagai pemimpin di masyarakat sekitar atau
pemimpin suatu bangsa. Adakah kepemimpinan kita tersebut seimbang antara
kemauan yang kita miliki dan kemampuan yang ada pada diri kita? Bila
kita merasa tak mampu, maka berikanlah kesempatan kepada mereka yang
lebih mampu untuk menjadi pemimpin itu. Ketiga, senantiasa mencari dan
berbagi ilmu. Rasulullah SAW tidak pernah berhenti dan menyerah dalam
mencari dan menuntut ilmu. Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita bahwa
ilmu tersebut harus senantiasa dikejar dan dicari. Bagaimana kita bisa
mengaplikasikan kriteria ini dalam kepemimpinan modern sekarang? Salah
satu bentuk ilmu pengetahuan yang sangat berkembang dengan pesatnya saat
ini adalah teknologi dan informasi. Sebagai seorang Muslim, kita harus
menyadari adanya revolusi teknologi ini. Masyarakat Muslim saat ini
boleh dibilang masyarat yang gagap teknologi. Dalam menyikapi persoalan
masyarakat Muslim yang dinilai gagap teknologi ini, muncul beberapa
perbedaan pandangan di tengah masyarakat baik secara individu, kelompok,
organisasi atau institusi. Disini perlu dialog yang membangun untuk
bisa saling bertukar ilmu pengetahuan, menumbuhkan sikap saling
menghargai dari berbagai sudut pandang yang bervarisi, menentukan agenda
kerja yang jelas serta bekerja sama secara sehat dalam rangka memahami
risalah yang telah diembankan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW.
Sungguh sangat jarang sekali diantara kita yang mengklaim memiliki ilmu
pengetahuan tentang Islam secara mendalam. Karena itu alangkah indahnya
bila kita mau berbagi ilmu dalam area yang lebih spesifik lagi, misalnya
dalam perkara yang berkaitan langsung sesama manusia, seperti,
bagaimana pendekatan seorang Muslim dalam masalah transaski keuangan.
Kriteria lain yang akan muncul adalah bagaimana kita mendemonstrasikan
Islam ketika kita berhubungan dengan orang lain. Entah itu dengan
bawahan atau atasan kita, klien kita, tetangga dan sebagainya.
Barangkali salah satu cara yang paling baik untuk berbagi ilmu tersebut
adalah dengan mengekspresikannya melalui profesi kita masing-masing,
baik sebagai seorang dokter di rumah sakit atau seorang peneliti di
laboratorium dan lain sebagainya. Keempat, mau mendengarkan dan tanggap
situasi. Kita lihat bagaimana Rasulullah SAW bersikap dalam mengambil
sebuah keputusan. Banyak orang yang datang kepada Rasulullah SAW untuk
mengadu. Namun sebelum beliau mengeluarkan suatu keputusan, terlebih
dahulu beliau mencari informasi yang lebih banyak lagi. Keputusan dari
Rasulullah SAW baru akan keluar setelah beliau merasa cukup dan memahami
persoalan dan situasi yang dihadapinya. Keinginan untuk mau
mendengarkan orang lain, dan memahami apa yang didengar serta
mengeluarkan keputusan tersebut sesuai dengan ketetapan Alquran dan
syari’ah, merupakan kriteria yang telah diterapkan oleh Rasulullah SAW
dalam kehidupannya. Dan tanggap situasi tidak selamanya berati
memberikan solusi terhadap suatu persoalan pada saat itu juga. Akan
tetapi, memberikan solusi atau mengeluarkan keputusan setelah
mengumpulkan beberapa informasi yang cukup terlebih dahulu. Kelima,
membangkitkan semangat orang lain. Salah satu kualitas Rasulullah SAW
yang paling indah adalah sikap lemah lembut dan kehalusan budi
pekertinya serta komitmennya untuk mengangkat harkat dan martabat
manusia. Pokok ajaran Islam itu universal dan diakui bahkan oleh
kalangan non-Muslim sekalipun. Dalam Islam, untuk menjadi seorang yang
mampu mengendalikan roda kehidupan masyarakat, haruslah berasal dari
perasaan cinta dan kerinduan. Kita akan tahu bahwa kita adalah pemimpin
yang efektif bilamana masyarakat sudah percaya dengan diri mereka
sendiri. Yang membuat kita berdecak kagum dengan kepemimpinan
Rasulullah SAW tersebut adalah dimana saat ini tidak ada pemimpin yang
mampu meniru gaya kepemimpinan Rasulullah SAW itu. Pada saat yang sama,
Rasul itu adalah seorang pakar sosiologi, pemimpin perang, pemimpin
bertaraf internasional, seorang menejer, kepala negara, ahli fisafat dan
seorang visioner, hanya untuk menyebutkan beberapa keahlian yang
dimiliki Rasulullah SAW, dan masih banyak lagi yang tak dapat penulis
sebutkan satu per satu. Melalui Rasulullah ini jualah, kita bisa melihat
bahwa Islam adalah agama yang komprehensif. Dalam al-Qurân surah
al-Ahzab ayat 21 , “Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu ada suri
teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan(rahmat / keridaan) Allah,
dan (kedatangan) Hari Akhirat dan dia banyak menyebut / mengingat
Allah”. Setiap orang memiliki tanggung jawab kepemimpinan, seperti
seorang ayah, guru, menejer di sebuah perusahaan, pimpinan organisasi,
buruh atau karyawan bahkan dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan.
Islam adalah “A way of life” yang tidak hanya terfokus pada persoalan
ibadah semata, tapi Islam juga berkaitan dengan semua urusan kehidupan
manusia. Menjadi seorang pemimpin tak hanya mengerti terhadap tugas dan
tanggung jawab saja, namun lebih dari itu, sebagai seorang pemimpin kita
juga dituntut untuk memiliki adab dan memberikan contoh kehidupan
seorang pemimpin yang layak dan patut untuk ditiru oleh masyarakatnya.
Sumber : DedyAryono's Blog
0 komentar:
Posting Komentar